pbhmimpo – Al-Qur’an seiring berkembangnya zaman semakin banyak kalangan yang tertarik akan al-Qur’an baik itu berupa sebuah resepsi atas al-Qur’an sehingga diaktualisasikan dalam kehidupannya maupun kajian-kajian terhadap nya.
Kajian tersebut ada yang mengupas mengenai substansi dari ajaran nya seperti menafsirkan al-Qur’an ataupun dari sisi teks al-Qur’an.
Pengkajian terhadap al-Qur’an itu tentunya menjadi khazanah keilmuwan islam yang menandakan semangat rasa keingintahuan atas al-Qur’an. kajian tersebut dilakukan oleh ilmuwan islam, namun seiring berjalannya waktu banyak sarjana barat yang mengkaji al-Qur’an atau dikenal dengan sebutan orientalisme.
Tulisan ini mencoba melihat bagaimana orientalisme khususnya dalam studi al-Qur’an yang dewasa ini menjadi diskursus menarik di kalangan akademisi muslim maupun barat.
Sebelum melihat lebih jauh bagaimana sarjana barat atau orientalis memandang dan mengkaji al-Qur’an, akan kita bahas makna dari orientalisme. Orientalisme merupakan studi/penelitian terhadap berbagai disiplin ilmu ketimuran, yakni bahasa, agama, sejarah, dan permasalahan-permasalahan sosio-kultural bangsa Timur, yang dilakukan oleh selain orang timur (Said, 2018: 25).
Sederhananya kita bisa memahami orientalisme sebagai tradisi kajian ketimuran dan keislaman, bersifat ilmiah di dunia Barat yang telah berabad-abad. Adapun orang yang melakukan studi atau penelitian tersebut disebut sebagai orientalis.
Kiprah Orientalisme
Hal yang tidak kalah penting untuk kita ketahui lebih awal adalah kiprah orientalisme. Menurut Hassan Hanafi, babak awal orientalisme terjadi pada saat yang bersamaan dengan ekspansi kaum muslimin ke beberapa wilayah Eropa melalui penaklukan islam ke Andalausia yang sekarang dikenal dengan nama Spanyol.
Kemudian orientalisme Klasik, yakni muncul pada abad 19 seiring dengan munculnya riset ilmiah atau aliran politik yang diusung yang merupakan kecenderungan utama, dan orientalisme kontemporer yang merupakan fase menuju kajian tentang ilmu-ilmu kemanusiaan terutama antropologi peradaban dan sosiologi kebudayaan (Fadal, 2011: 190).
Studi mengenai al-Qur’an di Barat distimulasi dan dipengaruhi oleh dua karya berbahasa Jerman : pertama, karya Gustav Weil Historish-Kritische Einleitung in der Koran (1844) dan karya Theodor Noldeke Geischihte des Qorans (1860) (Fadal, 2011: 190) dan yang paling awal adalah Abraham Geiger yang mengawali gagasan pengaruh dengan berupaya melacak sumber-sumber al-Qur’an pada 1833 dengan publikasi karyanya berjudul: Wat Hat Mohammed aus dem Judentume Aufgenommen dan memberikan pengaruh yang luar biasa terhadap pekembangan studi islam di Barat, mengenai polemis tentang studi al-Qur’an khususnya “teori pengaruh (Muzayyin, 2015: 203).Karya Geiger ini membahas pengaruh agama Yahudi atas al-Qur’an, yang menganggap bahwa di dalam ajaran terdapat pengadopsian dari agama Yahudi.
Setidaknya secara umum menurut Nur Kholis kajian orientalisme meliputi tiga bidang kajian: Pertama, kajian mengenai teks al-Qur’an, kedua, kajian mengenai alih bahasa al-Qur’an, dan ketiga adalah kajian mengenai bagaimana kaum muslimin memahami al-Qur’an.
Dari ketiga jenis kajian itu, kajian model pertama mendapatkan perhatian dan porsi yang lebih besar dari Sarjana Barat. hal ini dilatarbelakangi oleh tujuan untuk menemukan sumber-sumber al-Qur’an (Fadal, 2011: 190).
Motif dan Tujuan Orientalisme
Ketika kita ingin mengetahui motivasi para Sarjana Barat melakukan studi terhadap dunia timur khususnya mengenai agama islam secara mendasar kita memahami hal itu merupakan suatu hal yang berdasar atas Hasrat akan pengetahuan.
Namun demikian, hal lain yang perlu kita pahami lebih jauh tentang motivasi para Sarjana Barat pada awal melakukan studi atas islam.
Pada awal orientalisme klasik, studi yang dilakukan cenderung tidak berimbang, subyektif karena sangat dipengaruhi oleh sosio-kultural Barat.
Penelitian yang dilakukan sebagai upaya untuk mendiskreditkan islam, hal ini berdasar pada peristiwa perang salib, dimana bangsa Barat mengalami kekalahan atas bangsa Timur. Dari hal ini dengan berkdeok menggali khazanah islam mulai tertuju pada penjajahan dunia islam (Said, 2018: 26).
Namun pada perkembangannya studi yang dilakukan oleh sarjana Barat menemukan babak baru, dimana studi lebih mengarah pada metodologi yang lebih jujur, objektif dan ilmiah dan relevan dengan pengalaman nyata daripada sekadar prasangka negatif Kristen Barat terhadap islam dan Nabi Muhammad Saw.
Hal ini awalnya ditandai dengan adanya kritik-kritik terhadap kajian orientalisme serta badai krisis yang menggerogoti orientalisme. Kritik paling keras datang dari Edward W. Said yang tertuang dalam karyanya Orientalism (Badarussyamsi, 2016: 33).
Suryadilaga memaparkan bahwa terdapat perbedaan di kalangan pemikir Barat. kalangan orientalis yang menggunakan analisis historis lebih banyak menyikapi islam dengan nilai negatif, misalnya anggapan bahwa islam berasal dari bid’ah Kristen, sedangkan kalangan islamolog lebih memahami islam secara positif (Suryadilaga, 2011: 9).
Contoh Pandangan Orientalis atas Al-Qur’an
Sungguh pun al-Qur’an tidak bisa dilepaskan dari peradaban manusia hingga saat ini, keunikan dan perbedaannya dengan kitab suci yang lain menjadikan banyak orang tertaik untuk mengkajinya tidak terkecuali sarjana Barat.
Kajian atas al-Qur’an ada yang memahaminya secara positif dan juga yang memahaminya cenderung positif.
Abraham Geiger dengan Wat hat Mohammed aus dem Judenthum aufgenommen yang terbit tahun 1833 mengkaji tentang asal usul al-Qur’an. dalam karya tersebut Geiger mengkaji apa yang Muhammad adopsi dari agama Yahudi, lebih lanjut dalam studinya tersebut Geiger berkesimpulan bahwa ajaran-ajaran al-Qur’an, kisah-kisah yang ada di dalamnya sebagian besar merupakan duplikasi dari agama Yahudi.
Dengan karyanya ini Geiger menjadi penghembus awal gagasan teori pengaruh yang berdampak signifikan bagi studi sarjana Barat atas islam selanjutnya.
Selain Geiger yang memberikan pandangan negatif atas al-Qur’an ada Theodor Noldoke yang meneruskan teori pengaruhnya Geiger.
Noldoke memaparkan bahwa al-Qur’an adalah hasil karangan nabi Muhammad, sumber utama wahyu yang dibawa Muhammad adalah dari kitab Yahudi.
Noldoke memberikan beberapa contoh sebagai argumentasi dan hasil kajiannya. Salah satunya dengan menyatakan kalimat laa ilaaha illallah diadopsi dari kitab Samoel II. 32, Mazmur 18:32 (Muzayyin, 2015: 216).
Di atas merupakan contoh orientalis yang berpandangan negatif, kendati demikian pandangan mereka banyak dikritik baik oleh pemikir muslim maupun sarjana Barat lainya. ilmuwan muslim mempunyai tugas untuk melakukan studi atas al-Qur’an sebagai kritik pandangan orientalis yang memahami secara negatif.
Kendatipun demikian objektifitas harus menjadi landasan dalam melakukan studi tersebut, penelitian tersebut bukan upaya apologetic atas pandangan orientalis tersebut atau sarat akan emosional, hal ini murni untuk memberikan gambaran yang jelas, benar dan komprehensif atas al-Qur’an.
Penulis: Aziz Saepulrohman
Editor: Redaksi