pbhmimpo – Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) adalah dua organisasi Islam terbesar di Indonesia yang telah berkontribusi besar dalam dunia pendidikan. Dari pesantren hingga universitas, keduanya memiliki ribuan lembaga pendidikan yang telah mencetak banyak tokoh dan pemimpin bangsa.
Muhammadiyah mengelola sekitar 444 pesantren di 27 provinsi serta 5.345 sekolah yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia.Selain itu, Muhammadiyah juga memiliki berbagai perguruan tinggi ternama yang berbasis teknologi dan sains. Sementara itu, NU memiliki lebih dari 30 universitas dan secara keseluruhan lebih dari 200 perguruan tinggi, menjadikannya salah satu jaringan pendidikan Islam terbesar di Indonesia. Selain itu, NU dikenal memiliki ribuan pesantren yang menjadi pusat pendidikan Islam berbasis kitab kuning dan tradisi pesantren yang kuat.
Keberadaan ribuan lembaga pendidikan Muhammadiyah dan NU membuktikan bahwa keduanya berperan penting dalam mencetak generasi Muslim yang berilmu dan berakhlak. Muhammadiyah lebih mengedepankan model pendidikan formal dengan sistem sekolah dan universitas modern, sedangkan NU lebih menekankan pendidikan berbasis pesantren yang tetap berkembang dengan madrasah dan perguruan tingginya.
Dengan jumlah lembaga pendidikan yang begitu besar, Muhammadiyah dan NU terus beradaptasi dengan perkembangan zaman, menghadirkan inovasi dalam pendidikan, sekaligus mempertahankan nilai-nilai Islam sebagai landasan utama dalam membangun generasi penerus bangsaa
Namun, di era digital ini, dunia pendidikan mengalami perubahan besar. Teknologi semakin canggih, metode pembelajaran semakin inovatif, dan tantangan semakin kompleks. Bagaimana Muhammadiyah dan NU merespons perubahan ini? Apakah mereka mampu mempertahankan tradisi sambil beradaptasi dengan inovasi?
Meskipun Muhammadiyah dan NU memiliki pendekatan yang berbeda dalam dunia pendidikan, namun keduanya bertujuan sama: mencerdaskan umat dan membangun peradaban Islam yang maju. Muhammadiyah dikenal dengan sistem pendidikan modern yang menggabungkan ilmu agama dan pengetahuan umum. Ahmad Dahlan, sebagai pendirinya, merancang model sekolah yang terstruktur dengan sistem pendidikan formal seperti sekolah Barat, namun tetap berlandaskan nilai-nilai Islam. Inovasi ini membuat Muhammadiyah memiliki banyak sekolah dan universitas yang mengajarkan ilmu keislaman sekaligus membekali siswa dengan keterampilan yang relevan di era modern.
Sementara itu, NU berakar kuat pada sistem pendidikan pesantren yang menekankan pembelajaran kitab kuning serta hubungan langsung antara santri dan kyai. Pesantren NU menjadi pusat pendidikan Islam yang mempertahankan tradisi keilmuan klasik, namun seiring waktu, NU juga mulai beradaptasi dengan perkembangan zaman dengan mendirikan madrasah dan universitas. Kini, banyak pesantren NU yang menggabungkan kurikulum tradisional dengan ilmu sains dan teknologi, menunjukkan bahwa pendidikan Islam tidak hanya mampu bertahan tetapi juga berkembang dalam menghadapi tantangan era digital.
Pendidikan Islam menghadapi tantangan era digital, mulai dari persaingan dengan platform online, degradasi moral akibat paparan internet, hingga kurikulum yang perlu beradaptasi. Sekolah dan pesantren harus mengintegrasikan ilmu agama dengan teknologi agar lulusannya tetap relevan dan siap bersaing di era industri 4.0.
Muhammadiyah dan NU terus beradaptasi dengan perkembangan zaman tanpa meninggalkan nilai-nilai Islam. Muhammadiyah, dengan konsep Islam Berkemajuan, mendirikan berbagai universitas berbasis teknologi seperti Universitas Muhammadiyah di berbagai provinsi dan Universitas Ahmad Dahlan (UAD). Perguruan tinggi ini tidak hanya fokus pada ilmu keislaman, tetapi juga membangun keunggulan dalam bidang teknologi dan digitalisasi. Model pendidikan Muhammadiyah menekankan pentingnya integrasi ilmu agama dengan pengetahuan umum, agar lulusannya siap menghadapi tantangan era industri 4.0.
Di sisi lain, NU, dengan konsep Islam Nusantara, tetap mempertahankan sistem pesantren sebagai pusat pendidikan Islam, tetapi mulai membuka diri terhadap modernisasi. Beberapa pesantren kini telah menerapkan e-learning dan memanfaatkan media sosial untuk dakwah serta pembelajaran.
Selain itu, Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) hadir dengan fokus pada sains dan teknologi, membuktikan bahwa pendidikan Islam juga bisa berkembang di ranah akademik modern. Upaya ini menunjukkan bahwa Muhammadiyah dan NU tidak hanya menjaga tradisi, tetapi juga mampu berinovasi agar pendidikan Islam tetap relevan di era digital.
Era digital adalah keniscayaan. Muhammadiyah dan NU telah membuktikan bahwa mereka bukan hanya organisasi yang berpegang teguh pada tradisi, tetapi juga mampu beradaptasi dengan zaman. Tantangan ke depan bukan lagi tentang mempertahankan metode lama atau mengadopsi teknologi baru, tetapi bagaimana memadukan keduanya dalam sistem pendidikan yang tetap berlandaskan nilai-nilai Islam.
Sebagaimana yang dikatakan KH. Hasyim Asy’ari:
“Ilmu itu harus bermanfaat, bukan hanya untuk diri sendiri tetapi juga untuk umat.”
Dan seperti yang diajarkan Ahmad Dahlan
“Hidup-hidupilah Islam dengan ilmu dan amal, bukan sekadar dengan retorika.”
Kini, tugas kita adalah memastikan bahwa pendidikan Islam di Indonesia tidak hanya bertahan, tetapi juga berkembang untuk mencetak generasi Muslim yang berilmu, berakhlak, dan siap menghadapi tantangan zaman. Inilah saatnya Muhammadiyah dan NU terus bersinergi untuk membangun pendidikan Islam yang berkemajuan.
Penulis: Azizah Fathur Rohiem
Editor: Redaksi