Penulis : Widiah Astuti (kader Korps HMI-Wati (KOHATI)
Ketika mendengar nama Raja Ampat, yang terbayang di benak kebanyakan orang adalah panorama laut yang memesona, gugusan pulau yang eksotis, dan kekayaan hayati bawah laut yang tiada duanya. Namun bagi saya, Raja Ampat bukan hanya surga wisata, ia adalah rumah. Rumah bagi masyarakat adat yang hidup selaras dengan alam, sekaligus simbol perlawanan panjang antara kepentingan rakyat dan ambisi modal yang kerap melupakan nilai-nilai kemanusiaan.
Dalam beberapa tahun terakhir, geliat pembangunan yang masuk ke wilayah Raja Ampat justru menyisakan berbagai persoalan. Proyek-proyek pariwisata dan pertambangan, yang katanya demi kemajuan, sering kali menyingkirkan masyarakat lokal dari tanah mereka sendiri. Akses terhadap laut mulai dibatasi, lahan digusur, dan keputusan-keputusan penting diambil tanpa melibatkan warga. Akibatnya, masyarakat adat—terutama perempuan terpinggirkan dari ruang hidup yang selama ini mereka jaga dan warisi secara turun-temurun.
Sebagai kader Korps HMI-Wati (KOHATI), saya meyakini bahwa perjuangan lingkungan tidak bisa dipisahkan dari perjuangan perempuan. Ketika laut tercemar dan hasil tangkapan menurun, perempuan nelayanlah yang paling dahulu merasakan dampaknya. Ketika hutan ditebang, perempuan adat kehilangan sumber pangan dan obat-obatan. Ketika tanah diambil, perempuan kehilangan bukan hanya tempat tinggal, tetapi juga jati diri, peran sosial, dan martabat sebagai penjaga kehidupan.
Saya teringat pada kutipan Vandana Shiva, tokoh ekofeminisme dunia, yang berkata: “What we do to nature, we do to women.” Penindasan terhadap alam dan perempuan bersumber dari logika yang sama—eksploitasi, dominasi, dan pengabaian terhadap nilai kehidupan. Dalam sistem pembangunan yang tidak adil, perempuan tidak hanya menjadi korban kedua, tetapi juga yang paling pertama menghadapi dampak buruknya.
Saya memang ikut turun dalam aksi di depan Kementerian ESDM Rabu 11 Juni 2025 bersama kawan-kawan PB HMI MPO, tapi saya menyuarakan bukan atas nama lembaga, tetapi sebagai warga negara dan perempuan yang peduli. Saya membawa suara dari Raja Ampat, dari perempuan-perempuan adat yang selama ini menjaga laut, hutan, dan tanah mereka. Suara yang selama ini terlalu sering diabaikan.
Melalui tulisan ini, saya ingin menyerukan:
Hentikan eksploitasi alam di Raja Ampat yang dibungkus dengan narasi pembangunan.
Akhiri marginalisasi terhadap masyarakat adat, khususnya perempuan.
Lakukan evaluasi menyeluruh terhadap proyek pariwisata dan pertambangan yang tidak adil.
Libatkan perempuan dalam setiap proses pengambilan keputusan di wilayah adat mereka.
Menjaga Raja Ampat bukan sekadar menjaga pariwisata, tetapi menjaga kehidupan, menjaga masa depan, dan menjaga martabat kita sebagai bangsa. Perempuan tidak akan diam. Kami bukan pelengkap. Kami bukan penonton. Kami adalah bagian dari perjuangan ini, dan kami akan terus bersuara.