Penulis adalah fungsionaris PB HMI MPO 2023-2025 Haikal Fadhil Anam dan Isyraf Madjid
Frasa “Apa yang Tidak Kita Bicarakan Ketika Membiacarakan Tentang…” adalah gaya penulisan yang populer dalam esai, artikel opini, dan karya sastra. Sebuah frasa yang mengandung makna kritik halus atau ajakan berpikir ulang—bahwa ketika kita membahas suatu topik, sebenarnya masih banyak aspek penting yang tidak ikut dibicarakan, baik karena: tabu, terlalu kompleks, tersembunyi secara struktural, atau dianggap remeh/pasti.
Kini, HMI (MPO) telah tiba pada persimpangan yang lain dan kongres adalah papan penanda jalan. Lantas jalan mana yang kita tuju, pilihannya ada pada papan penanda jalan mana yang paling jelas. Jalan tersebut dapat ditempuh melalui kongres yang merupakan ajang kompetisi merebut 01 organisasi. Setidaknya, kursi nomor satu menjadi simbol spirit untuk menjadi masinis gerbong gerakan yang perlu dipertimbangkan matang.
Pertanyaan yang muncul kemudian, apakah hanya sekedar berdiri di atas ring tinju untuk saling menjatuhkan atau duduk manis menemui kader di balik bilik warung kopi untuk merayu mendayu-dayu? Sepertinya bukan itu yang diharapkan oleh para pendiri dan tokoh HMI. Lebih-lebih, MPO. Ia dikenal dengan idealismenya.
Bukan HMI (MPO) jika kongres semata diisi dengan pertukaran informasi, lobi calon ketua, dan seberapa banyak suara dibawa. Kita harus melompat jauh dari sekedar nama dan suara. Semangat dan daya juang mesti ditawarkan yang bukan sekedar retorika namun bentuk strategis yang membumi tanpa terlalu dalam untuk mengarahkan pada arah baru HMI, lebih-lebih era disrupsi digital yang kian terasa nyata merevolusi segala aspek kehidupan termasuk dalam berorganisasi.
HMI (MPO) memang kecil dalam kuantitas, namun tak menjadi soal. Dalam Sejarah dunia, tokoh seperti Nabi Muhammad, Mahatma Gandhi, atau kelompok intelektual awal Pencerahan Eropa bisa disebut sebagai creative minority karena peran mereka dalam mengubah arah peradaban. Mereka sejatinya adalah kelompok/entitas kecil yang mampu berpikir out-of-the-box dan membawa perubahan melalui ide-ide besar dan tindakan transformatif.
Di tengah derasnya arus pragmatisme dan krisis nilai, HMI (MPO) hadir dengan misi utama: membentuk kader umat dan kader bangsa yang memiliki integritas moral, kapasitas intelektual, dan komitmen pada perubahan sosial yang adil dan berkeadaban. Ruang baru yang perlu diperjuangkan sebagai upaya realisasi misi tersebut yang paling kuat kini adalah digital sphere. HMI (MPO) perlu menyublim pada arena itu.
HMI (MPO) perlu merombak setidaknya memperbaharui kesadaran bahwa ruang digital bukan sekadar media penyebaran informasi, tapi medan perjuangan nilai dan kesadaran. Melalui edukasi digital, produksi konten ideologis, narasi perjuangan, dan pengorganisasian massa digital, HMI (MPO) bisa meluaskan basis kaderisasi dan memperkuat peran transformasionalnya untuk mewujudkan tujuan HMI sebagaimana dalam Khittah Perjuangan.
Lebih jauh, di tengah kekeringan rasa disebabkan modernitas yang menghegemoni khususnya sisa-sisa kebudayaan “orang lain”, perlu kiranya menancap-dalamkan spirit kembali ke asal dan ke akar. Ini tentang bagaimana keislaman dan keindonesiaan dikawinkan dengan strategis dan taktis tanpa kehilangan relevansinya dengan zaman.
Menjadi HMI juga perlu membudaya dalam arti semangat kesundaan, kejawaan, kebetawian, kebugisan, dan lainnya yang selaras dengan nilai keislaman. Karena keindonesiaan ini berarti bukan hanya tentang nama besar Indonesia saja yang harus digaungkan, tetapi penopang nama-nama tersebut juga harus bisa mewarnai.
Pada akhrinua, semua itu pada ujungnya harus dinaungi dalam gerak kemauan politik yang konkrit. Hal ini bukan dimaksudkan kemudian untuk turun dalam politik praktis tetapi tentang kemauan politik yang terarah untuk memperjuangkan nilai dan agenda perubahan sosial secara nyata, terukur, dan konsisten dalam berbagai lini kehidupan berbangsa dan bernegara.
HMI (MPO) perlu memiliki analisa sosial-politik yang tajam, agar tidak terombang-ambing oleh arus pragmatisme elite atau retorika populis. Kemauan politik berangkat dari kemampuan membaca realitas, bukan dari reaksi emosional terhadap peristiwa. Ia juga harus terwujud menjadi “moral force” dan “watchdog” bagi kebijakan publik.
Sebuah organisasi tanpa arah kemauan politik hanya akan ramai di wacana, tapi tidak memberi dampak nyata. Ia bersuara, tapi tidak mengganggu, tidak mengubah, dan akhirnya diabaikan seperti kentut yang sekedar bersuara tanpa tercium baunya.