Pepatah menyebutkan bahwa sejarah adalah milik mereka yang berkuasa, Tidak heran jika pengendalian sejarah secara sistematis dilakukan untuk kepentingan justifikasi rezim yang sedang berkuasa. Meskipun demikian sejarah selalu menemukan jalannya sendiri menuju fakta yang disembunyikan. Masa kelam pemerintah orde baru yang otoriter menimbulkan sengkarut masalah dari Korupsi, Kolusi, Nepotisme hingga pelanggaran HAM berat.
Elit orba memposisikan rakyat sebgai objek pembangunan sehingga dalam membuat kebijakan acapkali bersifat sentral dan top down. Rakyat yang bersebrangan dengan pemerintah orba dicap sebagai anti pancasila, subversive dan mengganggu keamanan, Sehingga persekusi dan refresif pun tidak terhindarkan ketika rakyat dihadapkan dengan pasukan bersenjata. Hukum yang seharusnya menjadi pena kebenaran dan pedang keadilan menjelma menjadi senjata untuk melegitimasi tindakan pemerintah orba.
Kemarahan sipil terhadap pemerintahan orde baru berujung pada demonstarsi masa yang menuntut Soeharto hengkang dari jabatanya sebagai Presiden Republik Indonesia. Meskipun perjuangan melengserkan pemerintahan orde baru tidak mudah, Soeharto akhirnya harus mengakui kenyataan bahwa legitimasinya sebagai presiden telah tidak lagi diakui secara moral, Ia turun dari kursi kepresidenan setelah 32 tahun berkuasa.
Pasca 25 tahun reformasi, Glorifikasi terhadap orde baru yang menakutkan diromantisasi dengan cuitan-cuitan bernada kebutaan akan sejarah oleh khalayak penguna media masa terutama pengguna platfrom tiktok. Sunguh ironi, ketidaktahuan acapkali menelan korban. Mungkin, ada baiknya kita perlu membaca ulang, merefleksikan kembali sejarah bangsa yang telah dikaburkan dari faktanya dan jangan sampai perjuangan reformasi dalam mewujudkan demokrasi yang subtantif menjadi sia-sia.
Penting untuk diingat bahwa semangat reformasi adalah semangat kebebasan berpendapat di muka publik yang tertuang langsung dalam UU Nomor 09 Tahun 1998 sebagai produk awal reformasi. Dalam UU ini disebutkan bahwa kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum adalah hak asasi manusia yang dijamin oleh UUD 1945 dan deklarasi universal hak-hak asasi manusia; dan bahwa kemerdekaan setiap warga negara untuk menyampaikan pendapat di muka umum merupakan perwujudan demokrasi dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Dalam beberapa tahun terakhir dapat kita temui penyempitan ruang gerak demokrasi meliputi pembatasan kebebasan berpendapat di muka publik. Seperti dalam kasus-kasus demonstrasi yang acapkali mendapati tindakan represif dan bahkan terjadi upaya pembungkaman terhadap suara para demonstran dari berbagai kalangan. Dilansir dari laporan CNBCnews, Kamis (26/9/2019) Jokowi instruksikan menristekdikti redam demo mahasiswa, Pembungkaman semacam ini jelas menghianati cita-cita reformasi yang justru menjamin kebebasan berpendapat di ruang publik. Penyempitan ruang gerak demokrasi tidak berhenti pada pembungkaman suara saja tetapi juga sepaket dengan pengabaian terhadap penolakan berbagai produk kebijakan yang dianggap cacat secara prosedural dan minim partisipatif. Seperti revisi UU KPK, UU Omnibuslaw, UU Minerba yang banyak sekali mendapat kritik dan penolakan oleh masyarakat sipil namun faktanya pemerintah tetap mengetok palu UU tersebut.
Kemudian yang tidak kalah menghawatirkan adalah upaya untuk mengembalikan keterlibatan TNI aktif dalam wilayah-wilayah sipil. Seperti dalam laporan Kompas.com (16/06/2022) Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian mengatakan bahwa pengangkatan Brigjen TNI Andi Chandra As’aduddin (TNI aktif) sebagai Penjabat (Pj) Bupati Seram Bagian Barat karena ada potensi konflik batas desa.
Padahal dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor 6 tahun 2000 tentang pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan kepolisian negara Republik Indonesia pada huruf d berbunyi “bahwa peran sosial politik dalam dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia menyebabkan terjadinya penyimpangan peran dan fungsi Tentara Nasional Indonesia dan kepolisian negara Republik Indonesia yang berakibat tidak berkembangnya sendi-sendi demokrasi dalam kehidupan berbangsa bernegara dan bermasyarakat”. TNI merupakan alat pertahanan negara yang bertugas menghadapi ancaman perang serta mempertahankan keutuhan wilayah. Sedangkan polri bertugas menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat dan penegakan hukum. Maka dari itu agar peran TNI polri tidak terganggu, sudah sepatutnya TNI polri tidak menduduki wilayah jabatan sipil.
Saat ini pemerintah sedang menyusun RPP (rancangan peraturan pemerintah) tentang managemen ASN (aparatur sipil negara) yang berfotensi menghidupkan kembali dwifungsi abri karena mengatur penempatan TNI dan polri di jabatan sipil. Dilansir siaran pers dari laman resmi Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (kempan RB), Selasa (12/03/2024), Mentri Birokrasi Abdullah Azwar Anas “Aturan ini juga membahas jabatan ASN yang bisa diisi oleh prajurit TNI dan personel Polri, serta sebaliknya”. Kemenpan RB dalam laman yang sama mengklaim seluruh aspek substansi terpenuhi, RPP manajemen ASN menuju titik akhir. Artinya selangkah lagi RPP ini akan di tetapkan dan tentu saja corak orba semakin nyata adanya. Ketika fakta-fakta ini terus diabaikan maka jangan heran jika perjuangan reformasi dalam mewujudkan demokrasi yang subtantif menjadi sia-sia dengan kembalinya dwifungsi abri serta penyempitan ruang gerak sipil dan akan sangat mungkin sejarah kelam orde baru terulang kembali.
Saya selalu percaya bahwa kekuatan rakyat adalah solidaritas. Sebagaimana demokrasi yang subtantif bahwa kekuasaan berada ditangan rakyat, Maka dari itu kesadaran politik rakyat harus juga ditempah, jangan sampai elit memanfaatkan rakyat sebagai manusia politik hanya lima tahun sekali, setelah itu suara rakyat sama sekali tidak didengar. Padalah aktivitas politik itu berlangsung setiap hari sesederhana kita nyeduh indomie. Sejarah juga harus dibaca ulang, agar cita-cita reformasi dalam mewujudkan demokrasi yang subtantif tidak hanya tertulis di atas kertas tetapi juga implementasinya dapat berjalan sebagaimana mestinya. Sebagai generasi kontemporer yang ikut meraskan buah perjuangan reformasi, maka sudah sepatutnya kita semua untuk menjaga amanah reformasi ini dengan sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.
Oleh: Sinta Eka Marlina