Filsafat sebagai Warisan Intelektual Muslim Klasik (2): Transformasi Pemikiran Ilmuwan Islam

Filsafat

pbhmimpo – Setelah membahas peran penting pemikiran rasional dalam dunia Islam, terutama dalam bidang fiqh dan kalam, kita melihat bahwa kedatangan filsafat Yunani membawa perubahan signifikan dalam cara berpikir kaum muslimin.

Pemikiran Yunani yang masuk pada masa dinasti Abbasiyah, khususnya pada era al-Ma’mun, memperkenalkan terminologi-terminologi filosofis yang digunakan untuk memperdalam dan memperluas pemahaman tentang masalah-masalah ketuhanan dan takdir dalam Islam.

Perdebatan mengenai sifat-sifat Tuhan, takdir, dan eksistensi Allah menjadi semakin kompleks dengan pengaruh filsafat Yunani, yang kemudian diadopsi oleh banyak pemikir Islam terkemuka.

Keterlibatan filsafat Yunani dalam pemikiran Islam membawa pergeseran dalam cara para mutakallimun dan filosof mengartikan masalah ketuhanan dan takdir, seperti yang terlihat dalam perbedaan pandangan antara aliran Mu’tazilah, Asy’ariah, dan para filosof seperti Al-Kindi, Al-Farabi, dan Ibn Sina.

Pemikir-pemikir ini mulai mengadopsi argumen-argumen filosofis untuk menjelaskan dan merumuskan persoalan-persoalan ketuhanan dan takdir yang sebelumnya hanya dijelaskan melalui pendekatan teologis murni.

Ini menandai bagaimana filsafat Yunani menjadi alat bantu dalam memahami dan menjelaskan akidah Islam secara lebih mendalam, meskipun ada perbedaan antara pendekatan teologis dan filosofis dalam membahas hal-hal ini.

Selanjutnya, perbedaan perspektif ini tentang ketuhanan dan takdir akan menjadi topik utama dalam diskursus antara mutakallimun dan filosof, yang membentuk perdebatan panjang dalam pemikiran Islam.

Persoalan-persoalan Ketuhanan dan takdir: antara Mutakallimun dan Filosof

Sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, sebelum hadirnya pemikiran filosofis di Yunani, penjelasan-penjelasan mengenai persoalan ketuhanan dan takdir semata-mata menggunakan istilah-istilah yang terdapat dalam al-Quran itu sendiri.

Selain itu, argumentasi yang dibangun hanya berdasarkan pada pemahaman secara rasional para mutakallimun terhadap Al-Quran dan Hadis. Hal ini berbeda dengan para filosof yang hadir setelah mereka. Meski pemikiran-pemikiran mereka dipayungi oleh keyakinan teologisnya masing-masing.

Namun para filosof menggunakan paradigma pemikiran-pemikiran Yunani Klasik dalam menjelaskan persoalan-persoalan ketuhanan dan takdir. Dalam hal ini, berbeda dengan para mutakallimun sebelumnya, para filosof mulai menggunakan terminology-terminologi dalam menjelaskan persoalan-persoalan ketuhanan dan takdir.

  1. Masalah Ketuhanan

Mu’tazilah dan Asy’ariah merupakan dua aliran teologi yang berpolemik dalam menjelaskan masalah ketuhanan. Perdebatan mereka berkisar pada masalah Dzat Allah dan kedudukan sifat-sifat-Nya.

Dalam pandangan Mu’tazilah, dengan bersandar prinsip at-Tauhid, mereka berupaya meniadakkan sifat-sifat di dalam Dzat-Nya (Nahy al-Sifat).

Secara umum, bagi kalangan Mu’tazilah sifat-sifat atau atribut-atribut tersebut hanya nama-nama yang menggambarkan Tuhan. Nama-nama tersebut tidak mengacu pada hakikat Tuhan tetapi hanya mendeskripsikan Tuhan melalui bahasa yang dapat dipahami oleh manusia.

Al-Qur’an, misalnya, mengatakan bahwa Tuhan melihat dan mendengar, tetapi Tuhan tidak memiliki organ fisik, mata, atau telinga yang memungkinkan dia untuk melihat atau mendengar.

Hal ini berbeda dengan pandangan Asy’ariah yang memandang sifat-sifat ketuhanan merupakan entitas nyata dan independen yang tidak identik dengan esensi Tuhan tetapi berada di dalamnya dengan cara yang sama seperti aksiden (a’räd) yang berada dalam substansi (jahar).

Berbeda dengan Mu’tazilah yang cenderung meniadakkan sifat-sifat dan memahami sifat-sifat tersebut sebagai nama-nama semata, Asy’ariah memandang bahwa sifat-sifat tersebut melekat dalam Dzat-Tuhan, namun bukan sebagai substansi melainkan sebagai aksidensi (dapat berubah-ubah).

Persoalan mengenai kedudukan Tuhan kemudian menarik minat para filosof muslim awal seperti Al-Kindi, Al-Farabi, dan Ibn Sina. Berbeda dengan para teolog sebelumnya, para filosof memahami ketuhanan dengan argumentasi-argumentasi filsafat Yunani.

Mereka menjadi pemikiran-pemikiran Yunani sebagai instrument dalam memahami masalah-masalah ketuhanan. Al-Kindi misal, memahami bahwa dalam berbicara mengenai ketuhanan, manusia tidak berbicara tentang Tuhan dengan cara yang sama seperti berbicara tentang makhluk ciptaan.

Makhluk ciptaan dicirikan oleh kesatuan (kully) dan keragaman (juz’i), sedangkan Tuhan, sebaliknya, pada dasarnya adalah satu dan, pada kenyataannya, merupakan penyebab persatuan dan keragaman dalam ciptaan.

Tuhan tidak memiliki materi atau bentuk, kuantitas atau kualitas, genus atau spesies, tidak ada perbedaan spesifik, tidak ada hubungan, tidak ada properti, dan tidak ada aksiden. Dia merupakan substansi yang unik. Dalam hal ini, Al-Kindi menyatakan bahwa Tuhan hanya dapat dijelaskan secara negatif.

Penjelasan secara negative ini dikemudian hari disebut sebagai teologi apofatik atau teologi negative. Sedangkan Al-Farabi, sebagaimana Asy’ariah dan Mu’tazilah, ia pula berupaya memposisikan Allah sebagai wajib al-wujud (wujud yang mesti ada) sedangkan makhluq atau ciptaannya sebagai mumkin al-wujud (wujud yang eksistensinya bergantung pada wajib al-wujud).

Dalam hal ini, tentunya Al-Farabi memiliki kesamaan dengan aliran-aliran teologi sebelumnya yang memahami Allah sebagai substansi yang qadim dan makhluk sebagai hadis atau baharu. Namun Al-Farabi, berbeda dengan para teolog sebelumnya, menggunakan argumentasi-argumentas Aristoteles dan Neo-Platonik dalam memahami realitas ketuhanan.

Tuhan, sebagaimana yang terdapat dalam pemikiran Plotinos, dipahami sebagai substansi yang memancar. Dengan pancarannya menghasilkan akal-akal yang berpikir tentang Allah dan dirinya sendiri, yang kemudian melahirkan planet-planet, roh, dan materi pertama.

  1. Masalah Takdir

Masalah takdir merupakan sebuah persoalan filosofis-teologis yang telah lama diperbincangkan oleh para teolog. Jabariyyah, sebagai aliran teologi pertama yang membicarakan masalah takdir, memahami bahwa manusia pada dasarnya tidak memiliki daya untuk bertindak.

Sebab segala tindakan semata-mata ditentukkan oleh Tuhan. Manusia ibarat wayang yang jalan ceritanya ditentukkan oleh dalang, yakni Tuhan. Pandangan ini disebut sebagai pre-destination. Berbeda dengan Jabariyah, aliran Qadariyah memandang bahwa Tuhan menciptakan daya bagi manusia.

Melalui daya tersebut, manusia dapat menentukkan pilihan-pilihannya, Dalam hal ini, takdir manusia ditentukkan oleh dirinya sendiri, bukan oleh Tuhan.

Pandangan ini disebut sebagai free will. Pada perkembangan selanjutnya, pandangan Qadariyah ini kemudian diadopsi oleh Mu’tazilah dalam membangun prinsip al-Wa’du wa al-Wa’id.

Sebagaimana Qadariyah, Mu’tazilah memandang bahwa manusia memiliki kehendak bebas. Manusia dapat menjadi mukmin atau kafir. Pilihan hidup manusia ini kemudian menentukkan posisi dirinya dihadapan Allah kelak.

Apabila dalam hidup dirinya adalah seorang mukmin yang baik hati, maka Allah akan memberikan surga. Sebaliknya, apabila manusia berbuat dosa maka Allah akan memberikan hukuman. Dalam pandangan Mu’tazilah, Allah Maha Adil.

Pandangan tentang keadilan Allah ini merupakan prinsip al-Wa’du wa al-Wa’id (janji dan ancaman). Mu’tazilah menyatakan bahwa manusia memiliki bebas dan dengan demikian bertanggung jawab atas pahala atau hukuman yang mereka terima di akhirat.

Berbeda dengan Qadiriyah, Jabariyah, dan Mu’tazilah, Asy’ariah berada di posisi yang berbeda. Dalam berbicara mengenai masalah takdir, Abu Hasan al-Asy’ari mengajukan teori kasb. Menurut doktrin ini, manusia dapat berikhtiar dan mampu membuat pilihan-pilihannya sendiri.

Manusia dapat mencapai keberhasilan melalui usaha-usaha yang dilakukannya. Namun usaha dan keberhasilan yang dilakukan manusia semata-mata ditentukkan pula oleh kuasa Tuhan. Manusia dapat berusaha sepenuhnya, namun usaha tersebut dibatasi oleh kekuasaan Tuhan.

Para filosof seperti Al-Kindi dan Al-Farabi berbicara pula mengenai takdir. Namun pembicaraan mengenai takdir manusia dalam kedua pemikir ini sedikit sekali, sebab kedua pemikir muslim ini memusatkan perhatiannya secara penuh pada persoalan ketuhanan (metafisika) dan rekonsiliasi antara agama dan filsafat.

Dalam pandangan Al-Kindi, dengan mengadopsi ajaran Aristoteles mengenai empat causa, ia memahami bahwa makhluk memiliki sebab materi, sebab bentuk, sebab pembuat dan sebab manfaat. Sebab pembuat ini terdiri dari dua hal yakni sebab jauh (ba’idat) dan sebab dekat (qaribat).

Namun, berbeda dengan Aristoteles, Al-Kindi menambahkan satu sebab lagi, yakni sebab ilahy merupakan sebab pencipataan yang jauh dari segala pencipta, dalam hal ini Allah. Berangkat dari pandangan tersebut, Al-Kindi berbicara tentang takdir.

Baginya, manusia dapat menentukkan pilihan-pilihannya, namun proses pembuatan keputusan ini berasal dari penyebab eksternal. Dengan kata lain, pilihan manusia tergantung pada sebab-sebab eksternal yang dihasilkan oleh agen-agen sebelumnya, sehingga manusia tidak memulai tindakan mereka dalam pengertian absolut.

Pilihan dan tindakan-tindakan manusia bergantung pada sebab-sebab eksternal. Sedangkan bagi Al-Farabi, manusia merupakan makhluk yang memiliki kehendak bebas.

Kehendak bebas tersebut merupakan kekuatan esensial dalam mencapai kebahagiaan. Dalam hal ini, ia mendasarkan diri pada pandangan Aristoteles mengenai kedudukan kebaikan alamiah yang lebih tinggi ketimbang kebaikan moral.

Maksudnya ialah manusia dipandang sebagai makhluk rasional yang memiliki tabiat atau watak alamiah dan karakter moral, bagi Al-Farabi sudah selayaknya manusia mampu membentuk karakter moral mereka sendiri melalui tindakan yang bersifat sukarela.

Melalui potensi tersebut, manusia mampu melakukan perbuatan terpuji dan tercela. Pandangan yang sangat bercorak Aristotelian ini kemudian diangkat kembali oleh Ibn Sina.

Dalam risalah singkatnya Tentang Ilmu Etika (Fii ‘ilm al-akhlaq), ia menjelaskan ajaran Aristoteles dalam Etikanya: kebajikan dan keburukan diperoleh melalui pembiasaan (I’tiyad), yaitu melalui pengulangan tindakan tertentu.

Ibnu Sina mengakhiri risalah tersebut dengan mengatakan bahwa, melalui pengulangan tindakan secara sukarela ini, seseorang dapat mengubah karakter moralnya.

Penulis: Richo B Mahendra
Editor: Redaksi

Bagikan Tulisan Ini:

Facebook
X
WhatsApp
Threads

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tulisan Terbaru