Monolog: Suara dari Bawah

(Di sebuah panggung gelap, seorang sosok berdiri dengan wajah penuh amarah dan kelelahan. Ia berbicara langsung kepada penonton, seakan mereka adalah bagian dari perjuangannya.)

“Kau tahu, apa yang paling menyesakkan dada ini?
Bukan hanya rasa lapar yang terus menggigit, bukan pula peluh yang mengalir tanpa henti di bawah matahari yang kejam. Tapi fakta… bahwa di atas sana, mereka duduk di kursi empuk, memandang kami seperti bidak-bidak di papan catur mereka.

Kita ini apa bagi mereka? Angka-angka di laporan laba? Atau sekadar alat yang bisa diperas hingga habis? Mereka memberi janji seperti hujan di musim kemarau—menyejukkan hanya di bibir, tapi tak pernah sampai ke tanah yang kering.

Kita bekerja dari pagi hingga malam, membangun dunia yang tak pernah kita miliki. Tapi mereka? Mereka tinggal di istana tinggi dengan dinding yang begitu tebal hingga suara tangisan anak-anak kita tak bisa menembusnya.

Mereka memanggil diri mereka pemimpin. Tapi apa arti kepemimpinan tanpa rasa peduli? Mereka memungut pajak dari tangan yang bergetar, lalu berpesta di atas keringat yang mengering. Aku bertanya-tanya, sampai kapan kita membiarkan ini terjadi? Sampai kapan kita akan tunduk pada rantai yang tak terlihat tapi terasa begitu berat di pundak kita?

Hari ini, aku berkata cukup. Jika keadilan tak datang mengetuk pintu kita, maka kita akan bangkit. Kita bukan budak di tanah kita sendiri, dan kita tidak akan selamanya bisu di hadapan penguasa yang zalim. Suara kita, tangan kita, adalah kekuatan sejati.

Kita adalah akar dari pohon besar ini, dan tanpa akar, mereka tak akan berdiri. Sudah waktunya mereka tahu bagaimana rasanya tumbang!”

(Lampu redup, suara riuh langkah kaki di kejauhan mengakhiri monolog.)

Bagikan Tulisan Ini:

Facebook
X
WhatsApp
Threads

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tulisan Terbaru