Pemerintah didesak untuk mengambil langkah tegas terhadap perusahaan yang tidak membayarkan Tunjangan Hari Raya (THR) kepada pekerja. Pasalnya, kewajiban ini telah diatur dalam berbagai regulasi, termasuk Surat Edaran Kementerian Ketenagakerjaan Nomor M/2/HK.04.00/III/2025.
Pembayaran THR secara tepat waktu dianggap sebagai hak pekerja yang harus dipenuhi guna menyambut hari raya keagamaan dengan layak.
Ketentuan pemberian THR tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan dan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2016 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan.
Dalam aturan tersebut, pengusaha diwajibkan membayarkan THR secara penuh dan tidak dicicil, paling lambat tujuh hari sebelum hari raya keagamaan.
Kabid Kajian & Penelitian Lagrial, Arbendi, menegaskan bahwa pemerintah harus mengawasi pelaksanaan pemberian THR di lapangan dan memberikan sanksi tegas bagi perusahaan yang melanggar. Menurutnya, tidak ada alasan bagi pengusaha untuk menunda atau menghindari kewajiban ini.
“THR adalah hak pekerja yang tidak bisa disepelekan karena merupakan kewajiban setiap tahun. Perusahaan seharusnya sudah menyiapkan dana ini jauh sebelum hari raya keagamaan tiba. Tidak ada alasan perusahaan tidak punya uang untuk membayar THR, karena satu tahun adalah waktu yang cukup untuk mengalokasikan anggaran khusus,” tegas Arbendi.
Selain itu, regulasi terbaru juga mengatur pemberian THR bagi pekerja yang bekerja berdasarkan perjanjian kerja harian lepas. Dengan adanya aturan ini, diharapkan seluruh pekerja, baik tetap maupun kontrak, mendapatkan haknya sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Waspadai Modus PHK Jelang Lebaran
Direktur Eksekutif Lagrial, Muhammad Akhiri, menyoroti fenomena pemutusan hubungan kerja (PHK) yang kerap terjadi menjelang Hari Raya Idul Fitri. Ia menilai, PHK yang dilakukan pada periode ini sering kali dijadikan modus untuk menghindari pembayaran THR.
“PHK menjelang Lebaran menjadi fenomena yang harus dicermati. Perusahaan beralasan mengalami kesulitan keuangan, padahal dampaknya terhadap pekerja sangat memilukan. Selain harus menyiapkan kebutuhan Lebaran, mereka juga kehilangan pekerjaan setelahnya,” ujar Akhiri.
Ia menegaskan bahwa peran pemerintah sangat krusial dalam menjaga harmonisasi hubungan industrial antara pengusaha dan pekerja. Jika dibiarkan, gelombang PHK yang tidak terkendali akan menimbulkan masalah sosial, hukum, dan ekonomi yang lebih luas.
Muhammad Akhiri menekankan bahwa pemerintah, khususnya kementerian terkait, harus menunjukkan komitmen dalam menciptakan hubungan industrial yang kondusif dan berkeadilan. Jika tidak, ia menyarankan para menteri yang bertanggung jawab untuk mundur dari jabatannya.
“Jika pemerintah tidak mampu menciptakan hubungan industrial yang harmonis dan adil, lebih baik para menteri terkait mundur sebelum Idul Fitri. Jangan sampai rakyat kecil, khususnya para pekerja, menjadi korban dari lemahnya kebijakan dan penegakan hukum,” pungkasnya.