OfficialPBHMI.ORG : ABIDIN TATROMAN (WASEKJEND PB HMI)
Pilkada serentak tahun 2024 telah dilaksanakan secara nasional pada 27 November 2024. Dalam catatan sejarah pemilihan kepala daerah di Indonesia sejak reformasi bergulir, tahun 2024 ini kali pertama diselenggarakan pilkada serentak secara nasional.
Berdasarkan data yang dihimpun, ada 37 provinsi dan 508 kabupaten/kota yang menyelenggarakan pemilihan kepala daerah serentak di seluruh Indonesia pada tahun 2024.
Selain pilkada serentak, tahun ini juga telah diselenggarakan pemilihan umum yang memilih presiden dan wakil presiden serta DPR RI, DPD, DPRD provinsi dan kabupaten/kota.
Pelaksaan pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah tersebut barang tentu menguras ekonomi negara.Kondisi tersebut membuat Indonesia menghadapi tantangan ekonomi politik dan pembangunan yang signifikan pada 2024.
Kedua agenda besar ini memiliki dampak mendalam pada dinamika politik dan pembangunan ekonomi nasional. Kontestasi demokrasi ini membuat pemerintah berfikir kembali tentang pelaksaan pilkada yang efesien.
Apalagi kontestasi tersebut dilaksaan pada saat krisis ekonomi melanda dunia yang menyababkan nilai rupiah turun. Dampak pesta demokrasi tersebut kemudian membuat pemerintah mulai memikirkan kembali tentang sistem pemilihan kepala daerah melalui DPRD.
Keseriusan pemerintah mengengembalikan pemilihan kepala daerah lewat DPRD ini ditandai dengan pidato politik Presiden Prabowo Subianto pada hari ulang tahun partai Golongan Karya (Golkar).
Pernyataan Presiden Prabowo tersebut memberikan signal kepada pemangku kepentingan negara agar perlu mengkaji kembali sistem pemilihan kepala daerah yang efesien.
Dalam pemilihan kepala daerah langsung dengan sistem one man one vote (satu orang, satu suara) sebagai satu sistem pemilihan langsung yang menempatkan kesetaraan semua warga negara.
Kedaulatan sepenuhnya di tangan rakyat dan hendak dilaksanakan sesuai dengan kepentingan masing-masing rakyat. Wacana pemilihan kepala daerah kembali dipilih oleh DPRD mencuat, yang diharapkan dapat memangkas anggaran.
Wacana pemilihan kepala daerah lewat DPRD sudah pernah diusulkan pada zaman pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada tahun 2014. Namun Presiden ke-6 itu pernah menolak pilkada lewat DPRD.
Pada tahun 2014, Presiden SBY mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota. Perppu ini kemudian mencabut UU Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota yang mengatur pemilihan kepala daerah secara tidak langsung oleh DPRD.
Sebagai konsekuensi dari penetapan Perppu pilkada secara langsung tersebut, Presiden SBY juga menerbitkan Perppu Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah untuk menghilangkan ketidakpastian hukum di masyarakat.
Dengan terbitnya Perppu tersebut menegaskan sikap Presiden ke-6 itu menolak pemilihan kepala daerah lewat DPRD dan mendukung pemilihan kepala daerah secara langsung. Indonesia telah memilih jalan demokrasi sebagai satu sistem bernegara yang menempatkan kedaulatan rakyat atas segalanya.
Olehnya itu, pemerintah tidak gegabah dan cepat mengambil keputusan politik terhadap wacana pemilihan kepala daerah lewat DPRD.
Alasan yang mendorong semangat pemilihan kepala daerah lewat DPRD perlu di kaji kembali secara komprehensif dampak postif dan negatifnya terhadap sistem demokrasi saat ini.
Implikasi Pilkada Langsung
Salah satu alasan utama wacana pengembalian pemilihan kepala daerah lewat DPRD adalah ongkos politik pilkada langsung makin mahal.
Dengan biaya yang mahal tersebut dapat berdampak terhadap sektor lain dan barang tentu mengganggu stabilitas keuangan negara.
Alasan ini mencuat sebagai upaya elit politik mengupayakan proses pilkada sebaiknya di kembalikan kepada DPRD seperti yang pernah dilakukan pada zaman Orde Baru.
Jika melihat sejarah pilkada langsung di Indonesia, sebenarnya bagian penting dalam tuntutan reformasi yang menghendaki adanya kedaulatan rakyat, kebebasan menentukan sikap politik dan bebas dari kekuasaan.
Rakyat harus bebas menentukan pemimpinnya masing-masing sesuai kehendaknya. Berdasarkan data yang dihimpun, biaya pemilihan kepala daerah langsung secara nasional tahun 2024 sebesar 37,52 triliun.
Dana ini dialokasikan oleh pemerintah dalam penyelenggaraan pilkada serentak 2024. Nilainya fantastis, cukup besar biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk pilkada serentak 2024.
KPU RI telah merilis tingkat partisipasi pemilih pada pilkada serentak 2024 mencapai 71 % rata-rata secara nasional. Namun demikian, terdapat beberapa daerah partisipasi pemilih sangat rendah, misalnya di Jakarta partisipasi pemilihnya hanya mencapai 53 %.
Namun, secara nasional data yang dirilis oleh KPU RI menunjukan ada trend positif tentang tingkat partisipasi pemilih. Olehnya itu, sistem pemilihan kepala daerah secara langsung adalah sistem yang ideal dalam tatanan demokasi di Indonesia.
Biaya politik yang mahal adalah konsekuensi logis dari jalan demokrasi yang di pilih pasca reformasi.
Dalil pemangkasan biaya pada pilkada langsung sebaiknya dilakukan kajian mendalam dan evaluasi terhadap pilkada serentak 2024. Sehingga keputusan tersebut memiliki dasar kajian dan data yang valid, bukan karena keinginan aliran politik tertentu yang berupaya memperkokoh kekuasaan lewat pengaturan pilkada melalui DPRD.
Pemilihan kepala daerah langsung adalah rohnya demokrasi dengan menempatkan kuasa rakyat atas suaranya sendiri.
Sedangkan, pilkada lewat DPRD adalah upaya pemerintah lewat partai politik memperkuat kekuasaan. Elit politik harus jujur dengan dirinya sendiri, bahwa pilkada yang mahal bagian dari persekutuan politik yang mendominasi kontestasi lewat pembiayaan rekomendasi politik yang mahal.
Harusnya yang dilakukan pemerintah adalah mengeluarkan peraturan yang memperketat pembiayaan rekomendasi partai politik dengan batasan tertentu.
Partai politik tidak seenaknya mengobral rekomendasi dengan biaya yang mahal, yang dampaknya terjadi transaksional dalam kontestasi pilkada.
Abraham Lincoln mengartikan demokrasi sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Demokrasi juga dimaknai gagasan atau pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi seluruh warga negara.
Tujuan utama penerapan demokrasi adalah untuk memastikan hak-hak warga negara terjaga dan bebas menentukan sikap politik.
Wacana pemilihan kepala daerah lewat DPRD adalah upaya pemerintah mengekang kehendak rakyat serta mencabut kedaulatan rakyat atas suaranya sendirinya.
Pemilihan kepala daerah langsung adalah perwujudan dari jalan demokrasi yang di pilih oleh negara ini.
Agenda lima tahunan ini pertama kali dilaksanakan pada tahun 2005 pasca reformasi. Pilkada langsung sebagai antitesa dari sistem warisan Orde Baru yang sentralistik serta feodalistik.
Kekuasaan Orde Baru selama 32 (tiga puluh dua) tahun itu kemudian mengubah pola pikir rakyat Indonesia melihat struktur kekuasaan, rakyat disuguhkan dengan drama politik kekuasaan yang memonopoli semua tatanan bernegara.
Kedaulatan rakyat dicabut atas kehendak penguasa. Setelah runtuhnya Orde Baru, sistem pemerintahan berubah total. Untuk mewujudkan negara demokrasi, salah satunya adalah menerapkan sistem pemilihan kepala daerah secara langsung.
Para aktor politik lokal berkontestasi dengan visinya masing-masing. Rakyat diberikan kesempatan untuk memilih pemimpin sendiri.
Pentingkah Pilkada Sistem Perwakilan
Wacana pemilihan kepala daerah dengan sistem perwakilan dianggap jauh lebih efisien atau hemat biaya.
Alasan ini diperkuat dengan sistem pemilihan kepala daerah langsung selama dekade terakhir ini, menguras banyak keuangan negara.
Pembiayaan yang mahal dan polarisasi politik cukup tinggi. Pilkada dengan sistem perwakilan ini sudah dilakukan oleh beberapa negara seperti Malaysia, India dan Singapura.
Dari sisi pembiayaan, cukup efesien. Hal ini yang kemudian mendorong elit politik di Indonesia berfikir mengembalikan pilkada dengan sistem perwakilan.
Kementerian Keuangan RI, merilis jumlah total anggaran yang dialokasikan untuk melaksanakan Pilkada serentak 2024 mencapai RP 37,52 triliun, sepenuhnya berasal dari APBD di setiap daerah.
Melihat anggaran yang besar dan fantastis tersebut, pilkada semestinya menjadi sarana untuk memilih pemimpin daerah yang transformatif dan menghadirkan kesejahteraaan dan keadilan sosial.
Pemilihan kepala daerah dengan sistem perwakilan akan mencabut keadulatan politik rakyat. Dan tidak sejalan dengan cita-cita luhur reformasi yang menghendaki terjadinya transformasi kedaulatan sepenuhnya di tangan rakyat.
Oleh sebab itu, sistem pemilihan lewat DPRD perlu lagi dilakukan kajian dan pemetaan terhadap potensi transaksional di level DPRD.
Karena, dengan sistem perwakilan hanya menciptakan raja-raja kecil di daerah. Rakya susah mengontrol sistem pemilihan yang ada, lembaga-lembaga pengawas akan sulit mengakses informasi terhadap kegiatan yang ada.
Semestinya yang diataur pemerintah yaitu pembiyaan rekomendasi partai politik dengan paket murah. Partai politik di wajibkan dengan regulasi atas biaya rekomendasi, ada batasan tertentu yang ditaati oleh semua partai politik. Dengan demikian, maka kontestasi yang ada mengurangi praktik-praktik kotor dan jahat